Desa wisata Palon, Kecamatan Jepon

Rintisan yang masih perlu proses panjang

Desa Palon di Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora mengantongi SK desa wisata sejak Agustus 2019. Baru hendak merintis desa wisata usai mengantongi SK, tiba-tiba saja pandemi covid-19 melanda awal 2020. Praktis berbagai kegiatan untuk mengembangkan desa wisata terhenti. Di sisi lain, gantinya kepemimpinan pemerintahan desa membuat arah kebijakan mengembangkan desa wisata berbasis integrasi pertanian dan peternakan juga bergeser. Digelarnya Festival Desa Wisata Blora pada November 2022 menjadi momen Desa Palon untuk kembali merintis desa wisata. Masih perlu proses panjang untuk membentuk desa wisata ternak yang terintegrasi dengan agrowisata.

SUKIJAH tengah memotong dedaunan tanaman jagung untuk diberikan ke sapi-sapi di kandang komunal milik Kelompok Petani dan Peternak Lembu Joyo Desa Palon. Ada lebih 20 ekor sapi yang dimiliki 10 warga desa yang tergabung dalam kelompok tersebut. Sukijah, seorang ibu paruh baya yang menjadi anggota kelompok ini adalah satu dari sepuluh peternak yang mengandangkan sapinya di kandang itu. Ini adalah kandang pembibitan. Letaknya tepat di sebelah timur embung desa yang bisa dijangkau dari jalan di sebelah selatan Balai Desa Palon.

Selain kandang pembibitan, kelompok peternak ini juga memiliki kandang penggemukan. Kandang-kandang inilah yang dijadikan Desa Palon sebagai tempat tujuan desa wisata untuk edukasi pengunjung.

"Ini kami namakan Gama Technopark Palon," kata Lagiyono, pembina kelompok sadar wisata Desa Palon yang sekaligus ketua kelompok peternak.

Munculnya nama Gama bukan tanpa alasan. Muasalnya saat mahasiswa Universitas Gadjah Mada melakukan kegiatan kuliah kerja nyata di desa tersebut pada tahun 2017. Dari KKN UGM ini, muncul wacana menambah nilai-nilai wisata untuk pengembangan integrasi peternakan sapi dengan pertanian di desa tersebut. Sejak itu, berbagai kunjungan dari daerah-daerah lain, bahkan dari luar Jawa berdatangan.

"Sifatnya memang masih kunjungan studi, belum kunjungan wisata," kata Lagiyono.

Nama Gama Technopark ini sekaligus menjadi nama kelompok sadar wisata di desa tersebut. Saat terbentuk kelompok ini, kepemimpinan pemerintahan masih dipegang kepala desa yang lama. Rencana-rencana untuk mengembangkan peternakan dan pertanian guna memiliki nilai tambah sebagai desa wisata bermunculan. Bahkan seiring waktu, jumlah peternak yang tergabung dalam kelompok bertambah dari 12 menjadi 60 orang. Namun rencana ini tak berjalan lancar lantaran kepemimpinan pemerintahan desa berganti. Dukungan dari pemerintahan desa untuk mengembangkan desa wisata menjadi berkurang. Aset-aset desa yang semula diangan-angankan untuk memperluas kandang komunal agar bisa membuka kesempatan bertambahnya anggota kelompok tak lagi bisa jadi kenyataan.

"Jadi sebetulnya yang terpenting adalah kelembagaan. Ada sepemahaman antara kelompok sadar wisata, kelompok pengelola, dan terpenting dari pemerintahan desa sebagai yang didepan memimpin dan menggerakkan. Ini dulu yang akan kami sepadankan sebelum melangkah lebih jauh dalam mengembangkan desa wisata," ujar Lagiyono.

Upaya ini diakui Lagiyono memang tak mudah. Pasalnya, masih ada beberapa pihak yang lebih ingin memanfaatkan aset-aset tanah desa menjadi aset pendapatan tahunan dari lelang.

"Ini yang menjadi kendala untuk mengembangkan desa wisata di desa kami. Belum lagi SDM-nya, termasuk SDM untuk seni budaya," pungkasnya.

***