Eko Agus Winarno adalah salah satu orang Blora yang bergelut dengan pendampingan desa wisata di Provinsi Jawa Timur. Beberapa kabupaten di Jawa Timur, seperti Kabupaten Madiun dan Trenggalek adalah kabupaten-kabupaten yang Eko Agus Winarno dampingi bersama lembaganya, East Java Ecotourism Forum. Saat ini ia masih mendampingi Kabupaten Trenggalek yang tengah mengembangkan 100 desa wisata di kabupaten tersebut. Sementara di Madiun, ia melakukan pendampingan dalam program Selingkar Wilis. Bagaimana pandangannya tentang pembangunan desa wisata yang seharusnya di kabupaten tempat kelahirannya, Blora? Berikut pandangannya.
BAGI Eko Agus Winarno yang mengawali bergelut dengan dunia pariwisata sejak 2009 di Obech Avontur di Kabupaten Mojokerto, desa wisata bukanlah dibuat dengan cara membangun tetapi dengan cara mengembangkan kehidupan sosial masyarakat dengan memberikan nilai tambah untuk kepariwisataan. Pasalnya, jika berangkatnya dari pemikiran pembangunan, maka pembuatan desa wisata adalah dengan cara membuat bangunan-bangunan yang akan dijadikan obyek wisata. Padahal, menurutnya, desa wisata terbentuk dari kehidupan apa adanya yang ada di desa.
"Bahasanya seharusnya mengembangkan. Karena desa wisata itu tidak dibangun, tapi dikembangkan," katanya saat dijumpai di rumahnya di Dukuh Boto, Desa Sendangwungu, Kecamatan Banjarejo.
Desa wisata, menurutnya adalah aktivitas masyarakat yang diberikan nilai tambah pariwisata.
"Karena sebenarnya desa wisata itu adalah aktivitas masyarakat, aktivitas budaya lokal yang dikembangkan dengan pola pariwisata. Jadi pariwisata itu membeli nilai tambah terhadap aktivitas warga yang sudah ada," katanya.
Untuk mengawali desa wisata, menurut Eko Agus Winarno, penguatan masyarakat akar rumput perlu dilakukan terlebih dulu. "Perlu ada kesepakatan dalam musyawarah desa. Jadi tidak berangkat dari inisiatif orang per orang," ujarnya.
Kesepakatan ini di antaranya menurut Eko Agus berdasar kepada pemikiran yang sama tentang alasan mengapa perlu adanya sektor pariwisata di desa tersebut. Setelah sepakat, baru diurai keunggulan-keunggulan lokal apa yang dimiliki oleh desa untuk dijadikan produk atau atraksi wisata.
"Bertani (bahkan) bisa menjadi atraksi wisata. Bertaninya tidak hilang, (justru) ada tambahannya (berupa) pariwisata. Mendatangkan pengunjung, mereka (pengunjung) belajar (bertani). Itulah nilai tambah pariwisatanya," sebutnya.
Ditambahkannya, aktivitas warga masyarakat desa lainnya juga bisa menjadi atraksi wisata.
"Desa wisata itu desanya itulah yang dimunculkan," imbuhnya.
Setelah dimunculkan atraksi wisatanya, barulah dibuat tata kelola destinasi pariwisata.
"Barulah kemudian muncul namanya tkdp (tata kelola destinasi pariwisata): siapa yang mengelola, siapa mengerjakan apa bagiannya bagaimana, nanti sharingnya bagaimana kalau ada penghasilan, dan seterusnya," jelasnya.
Setelah muncul atraksi apa yang hendak disajikan, berikutnya adalah amenitas dan aksesbilitas.
"Amenitas adalah fasilitas umum dan penunjang yang disediakan. Termasuk di dalamnya ada toilet dan penginapannya. Sementara aksesbilitas adalah (infrastruktur) jalannya bagaimana, juga moda transportasinya," pungkasnya.
***